Tingkat Komponen Dalam Negeri atau biasa menyingkatnya dengan TKDN, merupakan sebuah acuan dalam pelaksanaan usaha jasa konstruksi dan rantai pasokannya. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi telah menggantikan aturan yang lama yakni UU Nomor 18 Tahun 1999. UU Jasa Konstruksi yang baru tidak hanya mengatur usaha jasa konstruksi, melainkan mengatur rantai pasokan (Supply Chain Management) sebagai pendukung jasa konstruksi dan usaha penyediaan bangunan.
Rantai pasokan dalam negeri harus memperhatikan masalah Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Dua kementrian, yaitu Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Kementerian Perindustrian mendukung penuh upaya pemerintah dalam menerapkan kebijakan TKDN pada pelaksanaan kontrak konstruksi di lingkungan kedua kementerian tersebut. TKDN menjadi salah satu preferensi dalam menentukan pemenang dalam proses pengadaan barang atau jasa di lingkungan Kementerian ESDM dan Kementerian Perindustrian.
Pengertian Tingkat Komponen Dalam Negeri
TKDN sendiri adalah nilai isian dalam persentase dari komponen produksi dalam negeri, termasuk biaya pengangkutannya yang ditawarkan dalam item penawaran harga barang maupun jasa. TKDN menjadi salah satu preferensi dalam menentukan pemenang dalam proses pengadaan barang/jasa di beberapa instansi pemerintahan.
Khusus dalam bidang industri manufaktur, setiap perusahaan didorong pemerintah untuk terus meningkatkan penggunaan Komponen Dalam Negeri, contohnya dalam proyek-proyek Engineering Procurement & Construction (EPC), karena untuk pengadaan (procurement), banyak mesin dan alat-alat yang bahan bakunya berasal dari luar negeri tapi perakitannya dilakukan di dalam negeri. Pemerintah akan memberikan insentif terhadap TKDN tertentu yang dimasukkan dalam proses produksi pada pelbagai jenis industri.
Dasar Hukum Penerapan TKDN Pada PBJ
Untuk diketahui, dasar hukum penerapan TKDN dalam pengadaan barang dan jasa di Indonesia saat ini mengacu pada:
- Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Kewajiban penggunaan produk dalam negeri sebagaimana dimaksud, menurut Perpres ini, dilakukan jika ada penyedia yang menawarkan produk yang nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) ditambah nilai Bobot Manfaat Perusahaan (BMP) minimal 40% maka dianggap sebagai produk dalam negeri yang layak diberikan preferensi
- Pasal 66 ayat (5) Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah disebutkan bahwa: Pengadaan barang impor dapat dilakukan, dalam hal: a. barang tersebut belum dapat diproduksi di dalam negeri; atau b. volume produksi dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan.
- Untuk sektor perindustrian, pengaturan tentang TKDN diatur lebih lanjut dalam Pasal 85, 86, 87, dan 88 UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian,
- Permen Perindustrian No. 16 Tahun 2011 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penghitungan Tingkat Komponen Dalam Negeri, Permen
- Perindustrian No. 2 Tahun 2014 tentang Pedoman Penggunaan Produk Dalam Negeri Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah,
- Permenprin No. 54 Tahun 2012 tentang Pedoman Penggunaan Produk Dalam Negeri Dalam Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan sebagaimana telah diubah dengan Permenprin No. 5 Tahun 2017.
Penerapan TKDN dalam Pengadaan Barang/Jasa
Untuk pemberdayaan industri dalam negeri, pemerintah perlu meningkatkan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN). Hal tersebut perlu dukungan semua pihak, terutama dari perangkat hukum yang bersifat wajib. Oleh karenanya, beberapa peraturan telah diterbitkan dan mewajibkan penggunaan produk dalam negeri digunakan oleh:
- K/L/PD apabila sumber pembiayaannya berasal dari APBN, APBD termasuk pinjaman atau hibah dari dalam negeri (DN) atau luar negeri (LN);
- BUMN, BUMD, Swasta yang pembiayaannya berasal dari APBN, APBD dan/atau melalui pola kerjasama antara Pemerintah dengan swasta dan/atau mengusahakan sumber daya yang dikuasai negara.
Pemerintah berharap untuk proyek-proyek yang akan dilaksanakan dalam Pengadaan Barang/Jasa, lebih banyak menggunakan bahan dan jasa dari dalam negeri. Untuk itu, maka penilaian penawaran peserta pengadaan barang/jasa tidak hanya dari segi teknis dan harga tapi juga dari tingkat komponen dalam negeri (TKDN) yang dikandung oleh barang maupun jasa yang ditawarkan oleh penyedia/rekanan.
Sejumlah upaya juga terus dilakukan untuk lebih meningkatkan TKDN oleh Kementerian PUPR, sehingga mengurangi ketergantungan impor di bidang jasa konstruksi melalui sosialisasi kebijakan TKDN, khususnya tata cara penerapan perhitungan dan pengawasan TKDN jasa konstruksi, penetapan batas minimal TKDN infrastruktur PUPR, dan pengadaan barang dan jasa yang mewajibkan TKDN tinggi dalam penawaran penyedia barang dan jasa.
Kewajiban penggunaan produk dalam negeri dilakukan sesuai besaran komponen dalam negeri pada setiap barang/jasa yang ditunjukkan dengan nilai tingkat komponen dalam negeri. Ketentuan dan tata cara penghitungan TKDN merujuk pada ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri. Selain itu, Menteri dapat menetapkan batas minimum nilai tingkat komponen dalam negeri pada industri tertentu.
Pemerintah dapat Memberikan Fasilitas Paling Sedikit Berupa:
- Preferensi harga dan kemudahan administrasi dalam pengadaan barang/jasa; dan
- sertifikasi tingkat komponen dalam negeri.
Preferensi harga, menurut Perpres No. 16 Tahun 2018, diberikan terhadap barang/jasa yang memiliki TKDN paling rendah 25% (dua puluh lima persen). Sementara preferensi harga untuk barang/jasa paling tinggi 25% (dua puluh lima persen), dan preferensi harga untuk Pekerjaan Konstruksi yang dikerjakan oleh badan usaha nasional paling tinggi 7,5% (tujuh koma lima persen) di atas harga penawaran terendah dari badan usaha asing.
Manfaat Penerapan TKDN
Ada sejumlah keuntungan bila pemerintah menerapkan kebijakan TKDN. Keuntungan tersebut tak hanya pelaku industri, melainkan juga kepada pemerintah Indonesia sendiri.
- Terciptanya lapangan tenaga kerja baru. Industri dalam negeri akan terus memproduksi barang atau komponen tersebut, bila industri terus beroperasi maka akan ada penyerapan tenaga kerja. Di sektor supporting perusahaan atau industri dalam negeri ada UKM yang menjual makanan, minuman dan snack kepada karyawannya sehingga ekonomi disekeliling industri dalam negeri akan terus bergerak.
- Penambahan pemasukan pajak penghasilan (PPh) terhadap produk-produk yang dibuat di Indonesia. Sebab, selama ini produk-produk yang diimpor masih ada yang bersifat free on board (FOB) luar negeri. Pemerintah sebagai lembaga penarik pajak, tentu diuntungkan bila ada pemasukan dari sektor pajak karena industri beroperasi
- Terciptanya supply-chain dengan ekosistem yang baik, di mana para vendor komponen terdorong membuka pabriknya di Indonesia untuk menyuplai ke pabrikan perakitan yang banyak itu.
- Potensi Indonesia sebagai basis produksi dan negara ekspor untuk pasar Asia Tenggara dan Asia Afrika. Hal tersebut akan tercapai, bila ekosistem komponen dan perakitan sudah berjalan dengan baik.
- Terciptanya kesetaraan antara pemain merek lokal dan merek luar dalam hal produksi dan kewajiban transaksi dalam rupiah serta kewajiban PPh.